"Beddu, Kambing, dan Republik yang Aneh"


Di sebuah desa yang katanya “aman dan tenteram”, hidup seorang pria bernama Beddu. Ia pengangguran profesional: tak pernah melamar kerja, tapi punya bakat alami mendapatkan barang baru tanpa mengeluarkan uang—dari sandal masjid sampai helm ojek.

Suatu malam, Beddu memutuskan naik pangkat: mencuri kambing. Menurutnya, kambing itu aset strategis—bisa dijual, bisa dijadikan modal kawin, atau minimal bahan pesta bakar-bakaran.

Masalahnya, Beddu lupa bahwa kambing berbeda dengan sandal: kambing punya pita suara. Saat Badu memutus tali pengikat, kambing itu langsung berteriak seperti aktivis LSM yang baru menemukan kasus korupsi. Warga keluar rumah, membawa senter dan pentungan. Beddu panik, lari, lalu jatuh ke selokan. Kambingnya? Masih mengembik, seperti memberi komentar langsung di TV.

Sidang yang Lebih Lucu dari Stand Up Comedy

Ruang sidang penuh. Hakim duduk tegap, jaksa siap dengan berkas, Beddu berdiri dengan muka pasrah.

Hakim: “Saudara tahu perbuatan mencuri itu dilarang?”

Beddu: “Tahu, Yang Mulia. Tapi yang saya tahu, hukum itu fleksibel. Kalau pejabat nyolong uang rakyat, hukumannya kan seringnya seminar, bukan penjara.”

Ruang sidang mendadak hening. Jaksa pura-pura batuk, pengacara pura-pura mencari berkas, wartawan mulai menyalakan kamera.

Jaksa: “Terdakwa mengambil kambing dengan melawan hukum.”

Beddu: “Lho, Pak Jaksa, saya nggak melawan hukum. Saya cuma memanfaatkan hukum yang biasanya cuma galak ke pencuri kecil. Saya kan realistis.”

Hakim mengetuk palu, entah untuk menenangkan sidang atau menenangkan hatinya yang mulai panas.

Akhirnya Beddu divonis 6 bulan penjara. “Efek jera,” kata hakim. Tapi Beddu hanya tersenyum miring:

“Kalau nyolong kambing 6 bulan, berarti nyolong proyek miliaran harusnya 600 tahun, kan?”

Hukuman Asli: Tatapan Kambing

Di penjara, Beddu diberi tugas memberi makan kambing milik petugas lapas. Ironi tertinggi: kambing itu ternyata kambing yang dulu ia curi. Setiap pagi, kambing itu menatapnya seolah berkata: “Gimana rasanya kerja buat aku, pencuri kelas receh?”

Menurut Beddu, tatapan kambing itu lebih menusuk dari tatapan hakim, lebih menghakimi dari tatapan jaksa, dan lebih bikin minder daripada tatapan ibu mertua saat tahu dompet menantu kosong.

Bebas, Tapi Belum Merdeka

Enam bulan kemudian, Beddu bebas. Wartawan mewawancarainya.

Wartawan: “Apa pelajaran yang Anda dapat?”

Beddu: “Pelajaran terpenting: kalau mau nyolong, nyolonglah dalam jumlah besar dan punya teman di DPR. Hukumnya beda. Tapi saya nggak punya modal dan koneksi, jadi saya putuskan pensiun.”

Warga tertawa, tapi ada yang nyengir pahit. Karena mereka tahu, Beddu tidak sepenuhnya bercanda.

Moral Satirnya

Di negeri ini, mencuri kambing jelas dosa dan hukumnya pasti berlaku. Tapi mencuri uang rakyat? Tergantung, kalau jumlahnya besar dan ada lobi, bisa jadi cuma diselesaikan di ruang rapat sambil ngopi.

Hukum kita, kata Beddu, seperti pagar rumah: kokoh untuk menghalangi kambing keluar, tapi penuh celah untuk maling besar masuk.

Jadi, Beddu memang menyesal. Bukan menyesal mencuri, tapi menyesal lahir sebagai pencuri miskin di negeri yang ramah terhadap pencuri kaya.

0 Komentar