Di Balik Toga Hukum

Rahman Syamsuddin

Dosen Prodi Ilmu Hukum FSH UIN Alauddin

Direktur Literasi Hukum Indonesia

Syarahman, 23 tahun, baru saja lulus dengan predikat cum laude dari Program Studi Ilmu Hukum sebuah universitas ternama di Makassar. Ia membayangkan masa depan cerah: mengenakan toga advokat di persidangan, duduk di kantor hukum besar, menangani perkara besar dengan bayaran fantastis.

Namun kenyataan di dunia kerja hukum jauh dari ekspektasi.

Bulan demi bulan, Syarahman mengirimkan lamaran ke firma hukum, kantor notaris, dan lembaga bantuan hukum. Jawaban yang ia terima hampir selalu sama: “Maaf, kami belum membuka penerimaan pegawai baru.” Satu-satunya tawaran yang datang adalah menjadi asisten di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) kecil di pinggiran kota, tanpa gaji tetap. Sebagian besar tugasnya hanya mengarsip berkas perkara, menyusun legal drafting sederhana, dan menyalin dokumen.

Syarahman menolaknya.
"Saya lulusan S.H., masa kerja saya hanya mengetik dan mengarsip?" pikirnya.

Ibunya, yang membiayai kuliah dengan membuka warung kecil di rumah, mulai khawatir.
"Nak, sampai kapan kamu menunggu tawaran besar? Hidup butuh makan, bukan hanya mimpi," ucap ibunya suatu malam.

Syarahman tetap kukuh pada gengsinya. Ia merasa gelarnya terlalu tinggi untuk pekerjaan yang dianggap “rendah” di bidang hukum.

Suatu siang, saat menghadiri seminar hukum di kampus, ia bertemu Adam, seniornya di fakultas. Anehnya, Adam hadir bukan sebagai pembicara besar atau pengacara terkenal, tetapi sebagai perwakilan komunitas hukum jalanan yang memberikan penyuluhan hukum gratis di pasar tradisional dan kampung-kampung.

"Kamu nggak malu, Kak, memberi konsultasi cuma-cuma di pinggir jalan?" tanya Syarahman, setengah meremehkan.

Adam tersenyum, "Syarahman, ini namanya kerja pro bono. Kami membantu orang-orang yang tidak punya legal standing di hadapan hukum, yang bahkan tidak paham hak-hak mereka. Bukankah Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 menyebut semua warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum? Kalau mereka tidak tahu haknya, bagaimana bisa mendapat keadilan?"

Kata-kata itu menampar Syarahman. Ternyata Adam tidak sedang “turun level”, justru ia menjalankan esensi profesi hukum: memastikan akses keadilan (access to justice) bagi semua.

Malam itu Syarahman termenung. Ia sadar, selama ini yang menghalanginya bukan sempitnya lapangan kerja, tetapi gengsi pribadi.

Keesokan harinya ia mendatangi kembali LBH kecil yang dulu ia tolak.
"Pak, kalau tawaran kemarin masih berlaku, saya siap mulai. Bahkan kalau harus dimulai dari mengarsip berkas perkara."

Direktur LBH tersenyum, "Selamat bergabung, Syafira. Di sini kita belajar bahwa keadilan bukan hanya milik mereka yang mampu membayar pengacara mahal."

Hari-hari Syarahman kini diisi dengan pendampingan perkara pro bono, membantu warga menyusun laporan polisi sesuai due process of law, menyebarkan informasi tentang hak-hak buruh, hingga mengedukasi korban kekerasan rumah tangga mengenai Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004.

Ia dan Adam juga mulai membuat konten edukasi hukum di media sosial, menjelaskan prosedur gugatan perdata, membongkar mitos hukum waris, hingga memberi tips membuat perjanjian tertulis yang sah secara hukum. Ribuan pengikut merasa terbantu.

Setahun kemudian, Syarahman tidak hanya memiliki penghasilan dari klien berbayar, tetapi juga mendirikan law clinic kecil untuk mahasiswa dan masyarakat. Di ruang tamu klinik hukum itu, ia memasang kutipan yang telah mengubah hidupnya:

“Yang mengerikan dari pendidikan adalah jebakan gelar. Gengsi yang pelan-pelan membunuh diri sendiri.” — Boy Candra

Syarahman tersenyum. Kini ia paham, toga hukum bukan hanya simbol status, melainkan komitmen pada keadilan. Gelar bukan untuk disombongkan, melainkan untuk dipakai membantu orang lain — di pengadilan, di jalanan, bahkan di warung kopi tempat warga curhat masalah hukumnya.

Catatan untuk Calon Sarjana Hukum
Jika pintu besar tidak terbuka untukmu, jangan takut masuk lewat pintu kecil. Dunia hukum bukan hanya ruang sidang dan kantor elite; ia juga hidup di pasar, di desa, di rumah-rumah kecil yang mencari keadilan. Dan ingat, pro bono bukan pekerjaan “rendah”, melainkan jantung dari profesi hukum yang sejati.

0 Komentar